Sepanjang sejarah manusia masalah
berzinah sudah ada dan menjadi masalah sosial yang sama tuanya dengan
sejarah peradaban manusia itu sendiri. Berzinah secara umum dimengerti
sebagai pelanggaran norma pernikahan, dimana seseorang melakukan
hubungan seksual dengan orang lain yang tidak terikat di dalam satu
pernikahan yang sah. Tetapi Tuhan Yesus mempunyai pandangan lain, yang
lebih tinggi tuntutannya, karena tuntutannya itu masuk ke dalam ruang
spiritualitas, yaitu masuk ke dalam dunia roh. Dan di dalam wilayah
spiritual segala sesuatu dinilai dengan menggunakan hati, bukan
menggunakan pikiran sehat saja. Karena hati adalah alat penilai yang
jujur dan akurat, dimana ia tidak pernah berbohong dan tidak
memanipulasi segala sesuatu yang dinilainya. Ia akan mengatakan apa
adanya sesuai dengan yang sebenarnya, bila salah akan diakuinya sebagai
yang salah dan bila benar akan diakuinya sebagai yang benar.
Dalam Injil Matius terdapat satu ayat
yang menulis perkataan Tuhan Yesus mengenai orang yang berzinah. Ini
adalah satu-satunya pengajaran Tuhan Yesus tentang perilaku seksual.
Dengan pengajaran ini Tuhan Yesus menegaskan kepada murid-murid dan para
pendengarNya bahwa berzinah bukan hanya merupakan tindakan yang nampak
saja, tetapi lebih dari pada itu, orang juga dapat dikatakan berzinah
bila ia memandang orang dan menjadi bergairah seksual di dalam hatinya.
Tetapi dengan batas mana orang dikatakan berzinah atau tidak berzinah
menjadi sulit untuk menentukannya, karena itu hal ini dikembalikan lagi
kepada hati masing-masing orang yang bersangkutan. Di titik ini
masing-masing orang dapat mengukur dengan jujur dari dalam hatinya yang
terdalam, sudah sampai seberapa jauh kedewasaan iman mereka di dalam
usaha mereka belajar kerohanian kepada Tuhan Yesus.
Untuk menentukan orang berzinah atau
tidak maka perkataan Tuhan Yesus di dalam Injil Matius ( Mat. 5:27-32 )
dapat menjadi acuan, yaitu:
Kamu telah mendengar firman: Jangan
berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang
perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam
hatinya.
Maka jika matamu yang kanan menyesatkan
engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu
dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan
ke dalam neraka.
Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan
engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu
dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.
Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang
yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan
isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang
diceraikan, ia berbuat zinah. ( Mat. 5:27-32 )
1. “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”
Ada dua tahap yang menjadikan orang dapat
dikatakan “berzinah”, tahap yang pertama orang itu memandang perempuan;
dan tahap selanjutnya menginginkannya. Tetapi perkataan Tuhan Yesus ini
masih belum begitu terang bagi pembaca Injil dalam bahasa
terjemahannya, karena itu perlu dikaji lebih dalam lagi.
Memandang perempuan, biarpun kalimat ini
ditujukan kepada para kaum pria namun jelas perkataanNya ini berlaku
pula bagi kaum perempuan, yang memandang lawan jenisnya dengan cara yang
sama. Karena dalam kasus lain pernah juga Tuhan Yesus dihadapkan dengan
seorang perempuan penjinah (Yoh. 8:3-10). Dalam hal ini yang
dipersoalkanNya adalah cara memandang lawan jenisnya; yaitu bila
seseorang memandang lawan jenisnya dengan hasrat berahi, sehingga gairah
seksualnya bangkit maka ia termasuk sebagai orang yang dimaksudkan oleh
Tuhan Yesus dengan kalimat di atas.
Menginginkannya, kata ini mengandung arti
yang jelas bila ditambahkan kata keterangan, karena kata ganti obyek
penderita dibelakang kata “menginginkan” yang dimaksud adalah perempuan
itu atau lawan jenisnya, tetapi menginginkan perempuan itu untuk apa
tidak dikatakanNya lebih jelas. Mungkin para pendengarNya pada waktu itu
sudah mengerti maksud perkataanNya itu, yaitu untuk melakukan hubungan
seks dengannya yang sudah bangkit gairahnya itu. Pada tahap ini memang
secara fisik ia belum melakukan perbuatan itu, tetapi biarpun demikian
Tuhan Yesus sudah memperhitungkannya sebagai perbuatan zinah.
Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat
zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata
kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang
berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk
melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang
hal itu?” Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka
memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu
menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus
bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka:
“Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama
melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Ia membungkuk pula dan
menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu,
pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya
tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di
tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai
perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum
engkau?” Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak
menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari
sekarang (Yoh. 8:3-11)
2. “Setiap orang yang menceraikan
isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan
siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.”
Disamping perkataan di atas (yang
pertama), Tuhan Yesus juga mengatakan kalimat ke dua yang berkaitan
dengan praktek kawin-cerai yang banyak terjadi pada masa itu dan pada
masa sekarang praktek perceraian juga masih banyak dilakukan, bahkan
oleh orang-orang percaya yang menikah di gereja dengan 'upacara sumpah'
untuk tidak bercerai sampai maut memisahkan mereka.
Pada kalimat yang ke dua ini Tuhan Yesus
mengatakan bahwa orang yang bercerai atau diceraikan kemudian kawin lagi
maka “perkawinan yang baru” itu dianggap tidak syah dan diperhitungkan
sebagai perbuatan zinah, biarpun secara sosial , kenegaraan dan
kelembagaan sudah dianggap syah. Hal seperti ini terjadi karena adanya
penilaian yang berbeda antara 'dunia' dan kerohanian. Dalam 'kerohanian
Kristen' yang diajarkan Tuhan Yesus, yang dipentingkan adalah kemurnian /
kesucian hati manusia. Tuhan melihat hati manusia dari pada apa yang
nampak dikerjakannya karena setiap tindakan mempunyai motivasi nya
sendiri dan masing-masing orang melakukan tindakan yang sama bisa
mempunyai motivasi yang berbeda, bahkan satu orang yang sama melakukan
suatu perbuatan yang sama pada kesempatan lain bisa pula mempunyai
motivasi yang berbeda. ( Ibr. 4:11-13). Pada dasarnya perkawinan adalah
suatu kelonggaran (dispensasi) yang diberikan Tuhan kepada manusia agar
dapat hidup mensucikan dirinya (1 Kor. 7:6-16 )
Hal ini kukatakan kepadamu sebagai
kelonggaran, bukan sebagai perintah.Namun demikian alangkah baiknya,
kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah
karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.
Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku
anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku.
Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin.
Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu. Kepada
orang-orang yang telah kawin aku — tidak, bukan aku, tetapi Tuhan —
perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan
jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai
dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang
saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau
hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan
laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia
menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu
dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan
oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak
cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau
orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam
hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah
memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. Sebab bagaimanakah
engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan
suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau
tidak akan menyelamatkan isterimu? (1 Kor. 7:5-16).
Karena itu baiklah kita berusaha untuk
masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorang pun jatuh karena
mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga. Sebab firman Allah hidup dan
kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk
amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia
sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. Dan tidak ada
suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu
telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus
memberikan pertanggungan jawab. (Ibr. 4:11-13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar